kepuasan kerja


Pengertian Kepuasan Kerja


Ada beberapa definisi kepuasan kerja antara lain :
1. Kepuasan kerja merupakan penilaian dari pekerja yaitu seberapa jauh pekerjaan secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya. (Robert Hoppecl New Hope Pensyvania).


2. Kepuasan kerja berhubungan dengan sikap dari karyawan terhadap pekerjaan itu sendiri,situasi kerja, kerja sama, antar pemimpin dan sesama keryawan (Tiffin).


3. Kepuasan kerja merupakan sikap umum yang merupakan hasil dari beberapa sikap khusus terhadap faktor- faktor pekerjaan, penyesuian diri dan hubungan sosial individu di luar kerja (Blum) .
4. Kepuasan kerja pada dasarnya adalah ” security feeling” (rasa aman) dan mepunyai segi-segi :
a. Segi sosial ekonomi (gaji dan jaminan sosial).
b. Segi sosial psikologi :

- Kesempatan untuk maju
- Kesempatan mendapatkan penghargaan
- Berhubungan dengan masalah pengawasan
- Berhubungan dengan pergaulan antara karyawan dengan karyawan dan antara keryawan dengan atasannya. (Sutrisno Hadi ’Analisa Jabatan dan Kegunaannya’. Bulletin Psychology).
Dapat disimpulkan dari pendapat beberapa ahli di atas bahwa kepuasan kerja merupakan suatu sikap yang positif yang menyangkut penyesuaian diri yang sehat dari para karyawan terhadap kondisi dan situasi kerja, termasuk di dalamnya upah , kondisi sosial, kondisi fisik dan kondisi psikologis.

(http://www.psikologizone.com/teori-herzberg-dan-kepuasan-kerja-karyawan)


Teori-teori Kepuasan Kerja


1. Teori Pertentangan (Discrepancy Theory)

Teori pertentangan dari locke menyatakan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan terhadap beberapa aspek dari pekerjaan mencerminkan penimbangan dua nilai : 1. pertentangan yang dipersepsikan antara apa yang diinginkan seseorang individu dengan apa yang diterima ; 2. pentingnya apa yang diinginkan bagi individu.
Menurut Locke seseorang individu akan merasa puas atau tidak puas merupakan sesuatu yang pribadi, tergantung bagaimana ia mempersiapkan adanya kesesuaian atau pertentangan antara keinginan dan hasil keluarnya.

2. Model dari Kepuasan Bidang/ Bagian (Facet Satisfication)

Model Lawler dari kepuasan bidang berkaitan erat dengan teori keadilan dari Adams, menurut model Lawler orang akan puas dengan bidang tertentu dari pekerjaan mereka jika jumlah dari bidang mereka persepsikan harus mereka terima untuk melaksanakan kerja mereka sama dengan jumlah yang mereka persepsikan dari yang secara aktual mereka terima. Jumlah dari bidang yang dipersepsikan orang sebagai sesuai tergantung dari bagaimana orang mempersepsikan masukan pekerjaan, ciri-ciri pekerjaan,dan bagaimana mereka mempersepsikan masukan dan keluaran dari orang lain yang dijadikan pembanding.

3. Teori Proses-Bertentangan (Opponent-Proses Theory)


Teori proses bertentangan dari Landy memandang kepuasan kerja dari perspektif yang berbeda secara mendasar daripada pendekatan yang lain. Teori ini menekankan bahwa orang ingin mempertahankan suatu keseimbangan emosional (emotional equilibrium), berdasarkan asumsi bahwa kepuasan kerja yang bervariasi secara mendasar dari waktu ke waktu akibatnya ialah bahwa pengukuran kepuasan kerja perlu dilakukan secara periodik dengan interval waktu yang sesuai.

4.Faktor-faktor Penentu Kepuasan Kerja


Banyak faktor yang telah diteliti sebatgai faktor-faktor yang mungkin menentukan kepuasan kerja.

4.1. Ciri-ciri Intrinsik Pekerjaan

Menurut Locke, ciri-ciri intrinsik dari pekerjaan yang menetukan kepuasan kerja ialah keragaman, kesulitan,jumlah pekerjaan, tanggung jawab, otonomi, kendali terhadap metode kerja, kemajemukan, dan kreativitas, terdapat satu unsur yang dijumpai pada ciri-ciri intrinsik yaitu tantangan mental.
Berdasarkan survei diagnostik diperoleh hasil tentang lima ciri yang memperlihatkan kaitannya dengan kepuasan kerja untuk berbagai macam pekerjaan. Ciri-ciri tersebut ialah :
1. Keragaman keterampilan.
2. Jati diri tugas (task identity).
3. Tugas yang penting (task significance).
4. Otonomi.
5. Pemberian balikan pada pekerjaan membantu meningkatkan tingkat kepuasan kerja.
Model karakteristik pekerjaan dari motivasi kerja menunjukan hubungan yang erat dengan kepuasan kerja. Kepuasan kerja bersamaan dengan motivasi internal yang tinggi. Konsep yang diajukan oleh Herzbeg, yang mengelompokan ciri-ciri pekerjaan intrinsik ke dalam kelompok motivators.

4.2. Gaji Penghasilan, Imbalan yangn Dirasakan Adil (Equittable Reward)

Uang memang mempunyai arti yang berbeda- beda bagi orang yang berbeda-beda . Dengan menggunakan teori keadilan dari Adams dilakukan berbagai penelitian dan salah satu hasilnya ialah bahwa orang yang menerima gaji yang terlalu kecil atau terlalu besar akan mengalami disterss atau ketidakpuasan.
Yang penting ialah sejauh mana gaji yang diterima dirasakan adil, jika gaji dipersepsikan sebagai adil berdasarkan tuntutan kerja, tingkat pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar gaji yang berlaku untuk kelompok pekerjaan tertentu, maka akan ada kepuasan kerja.
Uang atau imbalan akan mempunyai dampak terhadap motivasi kerjanya jika besarnya imbalan disesuaikan dengan tinggi prestasi kerjanya.



4.3. Penyeliaan

Locke memberikan kerangka kerja teoritis untuk memahami kepuasan tenaga kerjadengan penyeliaan, ia menemukan dua jenis dari hubungan atasan –bawahan : hubungan fungsional dan keseluruhan (entity). Hubungan fungsional mencerminkan sejauh mana penyelia membantu tenaga kerja, untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi tenaga kerja. Hubungan keseluruhan didasarkan pada ketertarikan antar pribadi yang mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai yang serupa. Penyeliaan merupakan salah satu faktor juga dari kelompok faktor hygiene dari Herzberg.

4.4. Rekan- rekan Sejawat yang Menunjang

Hubungan yang ada antarpekerja adalah hubungan ketergantungan sepihak , yang bercorak fungsional. Kepuasan kerja yang ada pada para pekerja timbul jika terjadi hubungan yang harmonis dengan tenag kerja yang lain. Didalam kelompok kerja dimana pekerja harus bekerja sagabai satu tim, kepuasan kerja mereka dapat timbul karena kebutuhan-kebutuhan tingkat tinggi mereka (kebutuhan harga diri, kebutuhan aktualisasi) dapat dipenuhi dan mempunyai dampak pada motivasi kerja mereka.

5. Dampak dari Kepuasan dan Ketidakpuasan Kerja


5.1. Dampak terhadap Produktivitas
Produktivitas dipengaruhi oleh banyak faktor-faktor moderator di samping kepuasan kerja. Lawler dan Porter mengharapkan produktivitas yang tinggi menyebabkan peningkatan dari kepuasan kerja hanya jika tenaga kerja mempersepsikan bahwa ganjaran intrinsik dan ganjaran ekstrinsik yang diterima kedua-duanya adil dan wajar dan diasosiasikan dengan unjuk kerja yang unggul.


5.2. Dampak terhadap Ketidakhadiran (Absenteisme) dan Keluar Tenaga Kerja (Turnover)
Porter dan Steers berkesimpulan bahwa ketidakhadiran dan berhenti bekerja merupakan jenis jawaban-jawaban yang secara kualitatif berbeda. Dari penelitian ditemukan tidak adanya hubungan antara ketidakhadiran dengan kepuasan kerja.
Steers dan Rhodes mengembangkan model dari pengaruh terhadap ketidakhadiran, mereka melihat adanya dua faktor pada perilaku hadir yaitu motivasi untuk hadir dan kemampuan untuk hadir.
Model meninggalkan pekerjaan dari Mobley, Horner dan Hollingworth, mereka menemukan bukti yang menunjukan bahwa tingkat dari kepuasan kerja berkolerasi dengan pemikiran-pemikiran untuk meninggalkan pekerjaan, dan bahwa niat untuk meninggalkan kerja berkolerasi dengan meninggalkan pekerjaan secara aktual. Ketidakpuasan diungkapkan ke dalam berbagai macam cara selain meninggalkan pekerjaan, karyawan dapat mengeluh , membangkang,menghidar dari tanggung jawab dan lain-lain.

5.3. Dampak terhadap Kesehatan
Salah satu temuan yang pentingdari kajian yang dilakukan oleh Kornhauser tentang kesehatan mental dan kepuasan kerja. Meskipun jelas bahwa kepuasan berhubungan dengan kesehatan , hubungan kausal masih tidak jelas. Diduga bahwa kepuasan kerja menunjang tingkat dari fungsi fisik dan mental dan kepuasan sendiri merupakan tanda dari kesehatan. Tingkat dari kepuasan kerja dan kesehatan saling berkesinambungan peningkatan dari yang satu dapat mempengaruhi yang lain, begitupun sebaliknya jika terjadi penurunan.

(As’ad, Moh. 2004. Seri Ilmu Sumber Daya Manusia Psikologi Industri. Yogyakarta : Penerbit Liberty.)

FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUASAN KERJA :

Dalam uraian ini akan dibahas mengenai hal-hal yang bersifat positif yakni faktor-faktor yang dapat menimbulkan kepuasan kerja untuk akhirnya menghasilkan tingkat produktifitas/prestasi kerja yang lebih meningkat dengan asumsi bila faktor-faktor positif dalam kepuasan kerja tidak diperhatikan maka secara otomatis akan menimbulkan ketidakpuasan dalam bekerja. Semakin tinggi prosentase/tingkat pengabaian terhadap faktor positif akan semakin tinggi pula tingkat ketidakpuasan dalam bekerja, selanjutnya akan semakin tinggi pula terjadi penurunan terhadap tingkat produktifitas/prestasi kerja yang berarti semakin menjauhkan organisasi dari tujuan utamanya, padahal disamping pemenuhan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi suatu organisasi maka tingkat produktifitas/prestasi kerja organisasi secara keseluruhan merupakan suatu acuan penting bagi pusat organisasi atau pemerintah dalam rangka mengevaluasi keberadaan suatu sub organisasi/sub unit/sub bagian, apakah dapat terus eksis (dibutuhkan keberadaannya)atau direkstrukturisasi / direorganisasi, atau bahkan bila perlu dilikuidasi. Hal terakhir sudah tentu bukanlah suatu hal yang diharapkan terjadi dalam suatu organisasi/departemen karena akan menimbulkan dampak yang sangat merepotklan disana-sini. Untuk menghindarkan kemungkinan terpahit seperti itu maka berikut ini adalah faktor-faktor positif dalam kepuasan kerja.


1. FAKTOR SISTEM KOMPENSASI KERJA.


Kompensasi kerja adalah segala sesuatu yang diterima pegawai sebagai balas jasa untuk hasil kerja mereka. Kompensasi kerja merupakan bagian dari fungsi manajemen personalia yang paling sulit dan membingungkan karena bersifat sangat kompleks dan sangat berarti baik bagi pegawai maupun organisasi. Dalam rancangan sistem kompensasi harus didasarkan pada logika dan rasio yang dapat dipertahankan. Kompensasi penting bagi pegawai sebagai individu karena jumlahnya mencerminkan nilai karya mereka bila dihadapkan dengan sesama pegawai, keluarga, dan dalam masyarakat. Sedangkan kepentingan bagi organisasi, sistem kompensasi yang berlaku dapat mencerminkan upaya organisasi tersebut dalam mempertahankan sumber daya manusianya (caring & protecting), disamping merupakan komponen biaya yang paling besar dan strategis.

2. FAKTOR USIA.


Secara logika semakin tua usia pegawai semakin banyak asam garam kehidupan yang telah mereka rasakan sehingga semakin banyak pula kesabaran dan pengertian yang dimiliki, hal ini tampak dari pengharapan-pengharapan yang tidak terlalu tinggi serta penyesuaian-penyesuaian yang lebih baik terhadap berbagai situasi yang terjadi di lingkungan kerja mereka, akibatnya mereka cenderung lebih mudah terpuaskan (tanda petik “mensyukuri”) dengan pekerjaan-pekerjaan yang mereka dapatkan dan telah mereka lakukan. Bertolak belakang dari hal tersebut di atas maka pegawai yang lebih muda usia karena belum banyak pengalaman maka pada umumnya mereka cenderung kurang mudah terpuaskan disebabkan oleh berbagai pengharapan yang lebih tinggi, lebih sulit untuk menyesuaikan diri, serta penyebab-penyebab lainnya. Kedua hal tersebut diatas sudah tentu tidak dapat serta merta digeneralisir namun sepatutnya menjadi salah satu pertimbangan bagi manajemen personalia dalam hal penempatan pegawai disamping pertimbangan-pertimbangan lain yang bersifat profesional.


3. FAKTOR JENJANG PEKERJAAN

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pegawai yang bekerja dengan jenjang/level pekerjaan yang lebih tinggi cenderung akan lebih mudah mendapatkan kepuasan kerja, karena walaupun mempunyai tanggung jawab lebih besar dan lebih berat namun biasanya memperoleh kompensasi kerja yang lebih baik, kondisi kerja yang lebih nyaman, kewenangan yang lebih banyak, dan lain-lain. Dengan demikian dapat dimengerti bila semakin rendah level pekerjaan akan semakin rendah pula tingkat kepuasan kerja yang akan didapatkan. Hal yang perlu diperhatikan dalam suatu organisasi adalah keharmonisan dan keselarasan hubungan antar seluruh level yang terdapat di dalam organisasi tersebut mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi, sehingga dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya masing-masing akan terjadi kerja sama yang saling mendukung dengan dilandasi rasa saling menghargai.

4. FAKTOR UKURAN ORGANISASI.

Hubungan antara kepuasan kerja dengan besar kecil suatu organisasi cenderung berlawanan artinya semakin besar organisasi maka kepuasan kerja akan semakin mengecil. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa semakin besar organisasi maka akan semakin banyak individu-individu didalamnya, akibatnya berbagai proses partisipasi, komunikasi, dan koordinasi menjadi lebih sulit dan kompleks karena terciptanya jarak yang semakin jauh antara kekuasaan pengambil keputusan dengan pegawai-pegawai dibawahnya, hal ini sering menimbulkan perasaan kehilangan peranan atau dengan perkataan lain organisasi besar akan/dapat “menenggelamkan” orang-orangnya sendiri. Akibat lain dari organisasi yang semakin besar adalah berkurangnya/menghilangnya berbagai elemen kedekatan pribadi, persahabatan, dan “kehangatan” yang biasa didapati dalam kelompok kerja kecil. Untuk mengatasi hal tersebut di atas maka hal yang umum dilakukan oleh suatu organisasi adalah mengambil berbagai tindakan/kebijakan korektif seperti kegiatan briefing, jam komandan, gathering, dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya yang diusahakan untuk diselenggarakan secara berkala.


STRESS :

Adalah tekanan/ketegangan yang dihadapi seseorang dan mempengaruhi emosi, pikiran, serta kondisi keseluruhan dari orang tersebut. Stress dalam suatu lingkungan pekerjaan sampai dengan batas yang dapat ditolerir bisa memberikan suatu rangsangan sehat guna mendorong individu-individu dalam suatu organisasi untuk memberikan tanggapan positif terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi sehingga mereka terpacu untuk mengerahkan segala sumber daya yang dimiliki dalam rangka memenuhi tugas dan tanggung jawabnya. Bila ini yang terjadi maka stress pada akhirnya dapat meningkatkan produktifitas/prestasi kerja.
Pada kondisi yang sebaliknya, yakni stress yang berlebihan atau sudah tidak mampu lagi ditolerir oleh seorang individu akan menimbulkan dampak yang tidak sehat karena individu tersebut kehilangan kemampuan untuk mengendalikan dirinya secara utuh, akibatnya ia tidak mampu lagi mengambil keputusan-keputusan yang tepat dan bahkan terkadang perilakunya ikut terganggu, dampak lain yang mungkin terjadi adalah sakit secara fisik, putus asa, sering absen, dan lain-lain. Akhirnya selama stress ini belum teratasi maka akan terjadi tingkat produktifitas/prestasi kerja yang cenderung rendah dan terus menurun. Kondisi yang kurang lebih sama dapat juga terjadi bila dalam lingkungan pekerjaan tersebut tidak ada stress sama sekali, karena tantangan-tantangan kerja tidak ada sehingga pekerjaan menjadi suatu hal yang sangat membosankan dan menjenuhkan.
Berdasarkan definisi stress tersebut di atas dapat dikatakan bahwa sampai dengan tingkat tertentu maka stress akan dibutuhkan oleh anggota maupun oleh pejabat pada suatu organisasi. Dalam rangka menciptakan tantangan-tantangan baru bagi individu-individu dalam suatu organisasi yang bertujuan akhir untuk meningkatkan produktifitas/prestasi kerja ini, apakah kondisi-kondisi stress tertentu harus selalu diciptakan ? Ternyata berdasarkan teori yang ada jawabannya adalah tidak harus selalu diciptakan namun harus mempertimbangkan berbagai hal yang terkait dengan situasi dan kondisi dari aspek-aspek yang saling berhubungan satu sama lain, karena penyebab stress sangat bervariasi ada yang berasal dari dalam organisasi/lingkungan kerja dan tidak sedikit yang berasal dari luar organisasi/masalah pribadi.


FAKTOR-FAKTOR PEMICU STRESS :

Seperti dikatakan di atas faktor pemicu stress ada yang berasal dari dalam organisasi/lingkungan pekerjaan (stressor on the job), ada yang berasal dari luar organisasi/keluarga & masyarakat (stressor off the job). Dalam bahasan ini yang ingin ditekankan adalah apapun stressornya bila telah mengganggu kinerja seorang pegawai, maka sebaiknya stressor harus diatasi atau dibatasi sampai dengan tingkat yang dapat ditolerir. Adapun kondisi-kondisi yang dapat menjadi pemicu stress adalah sebagai berikut :


1. Stressor On The Job :
a. Beban kerja berlebih/overload
b. Desakan waktu/deadline
c. Kualitas pembimbingan rendah/low supervisi
d. Iklim politis tidak aman/low comfort
e. Umpan balik kerja rendah/low feedback
f. Wewenang tidak memadai/low authority
g. Ketidakjelasan peranan/role ambiguty
h. Frustasi/putus asa
i. Konflik antar pribadi/kelompok
j. Perbedaan nilai individu dan organisasi
k. Perubahan situasi kantor yang mengejutkan

2. Stressor Off The Job :
a. Krisis keuangan pribadi/keluarga
b. Permasalahan-permasalahan tentang anak
c. Permasalahan-permasalahan tentang fisik
d. Permasalahan - permasalahan dalam perkawinan
e. Perubahan situasi rumah/lingkungan
f. Permasalahan-permasalahan lainnya
(Drs. H. Malayu S.P. Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia dasar dan kunci keberhasilan, penerbit PT. Toko Gunung Agung, Jakarta 1995.)



Chiselli dan Brown mengemukakan bahwa faktor-faktor yang dapat menimbulkan kepuasan kerja :
1. Kedudukan
2. Pangkat Kerja
3. Masalah Umur
4. Jaminan finansial dan jaminan sosial
5. Mutu Pengawasan
Harold E. Burt, mengemukakan pendapat tentang faktor-faktor yang ikut menentukan kepuasan kerja sebagai berikut :
1. Faktor hubungan antar karyawan
2. Faktor-faktor Individual
3. Faktor-faktor luar
Pendapat Gilmer (1966) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja sebagai berikut :
a. Kesempatan untuk maju
b. Keamanan kerja
c. Gaji
d. Perusahaan dan manajemen
e. Pengawasan (Supervisi)
f. Faktor intrinsik dari pekerjaan
g. Kondisi kerja
h. Aspek sosial dalam pekerjaan
i. Komunikasi
j. Fasilitas


M aslow membagi kebutuhan manusia berdasarkan hierarki dari kebutuhan yang paling rendah ke kebutuhan yang paling tinggi. Kebutuhan manusia versi Maslow pertingkatan adalah: Kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri.

Pembagian dua buah atas dan bawah itu membuat teori Herzberg dikenal orang sebagai two factor theory atau motivator hygiene theory. Kebutuhan tingkat atas pada teori Herzberg yang diturunkan dari maslow adalah penghargaan dan aktualisasi diri yang disebut sebagai motivator, sedangkan kebutuhan yang lain digolongkan menjadi kebutuhan bawah yang disebut sebagai hygiene factor.

Teori Herzberg dan Kepuasan Kerja Karyawan

Terdapat faktor-faktor tertentu yang diasosiakan dengan kepuasan kerja dan faktor-faktor tertentu yang disosiasikan dengan ketidakpuasan kerja. Faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja antara lain:

  1. Tanggung jawab (responsibility), besar kecilnya yang dirasakan dan diberikan pada tenaga kerja.
  2. Kemajuan (advancement), besar kecilnya kemungkinan tenaga kerja dapat maju dalam pekerjaannya.
  3. Pencapaian (achievement), besar kecilnya tenaga kerja mencapai prestasi kerja yang tinggi.
  4. Pengakuan (recognition), besar kecilnya pengakuan yang diberikan kepada tenaga kerja atas kinerjanya.
  5. Pekerjaan itu sendiri (work it self), besar kecilnya tantangan bagi tenaga kerja dari pekerjaannya.

Semua faktor diatas sering kali berhubungan dengan isi (content) dari sebuah pekerjaan, itu mengapa seringkali disebut juga content factor. Sedangkan kelompok-kelompok faktor yang berhubungan dengan ketidakpuasan dalam pekerjaan seringkali disebut dengan context factor. Faktor faktor ini adalah:

  1. Kebijakan perusahaan (company policy), derajat kesesuaian yang dirasakan tenaga kerja dari semua kebijakan dan peraturan yang berlaku diperusahaan.
  2. Penyeliaan (supervision), derajat kewajaran penyeliaan yang dirasakan oleh tenaga kerja.
  3. Gaji (salary), derajat kewajaran gaji/upah sebagai suatu imbalan atas hasil kerjanya (performance)
  4. Hubungan antar pribadi (interpersonal relations), derajat keseuaian yang dirasakan dalam berinteraksi dengan tenaga kerja lainnya.
  5. Kondisi kerja (working condition), derajat kesesuaian kondisi kerja dengan proses pelaksanaan pekerjaannya.

Content factor dalam teori Herzberg sering disebut dengan motivator, yaitu faktor faktor yang dapat mendorong orang untuk dapat memenuhi kebutuhan tingkat atasnya dan merupakan penyebab orang menjadi puas atas pekerjaannya. Bila content factor ini tidak ada, maka akan dapat menyebabkan seseorang tidak lagi puas atas pekerjaannya atau orang tersebut dalam keadaan netral, merasa tidak ”puas” tetapi juga tidak merasa ”tidak puas”.

Sedangkan context factor, yang berhubungan dengan lingkungan pekerjaan ini sering disebut dengan hygiene factor, dimana pekerjaan memberikan kesempatan untuk seseorang dalam pemenuhan kebutuhan tingkat bawah. Bila context factor yang tidak terpenuhi, tidak ada, ataupun tidak sesuai maka dapat membuat pekerja merasa tidak puas (dissatisfied).

Dalam ketidakterpenuhinya context factor akan membuat tenaga kerja banyak mengeluh dan merasa tidak puas, tetapi bila dipenuhi maka pekerja akan berada pada posisi tidak lagi tidak puas (bukan berarti puas) atau tepatnya dalam keadaan posisi netral.

Teori Herzberg dan Kepuasan Kerja Karyawan



Faktor faktor yang masuk kedalam kelompok motivator cenderung merupakan faktor yang menimbulkan motivasi kerja yang lebih bercorak proaktif, sedangkan faktor yang termasuk kedalam kelompok hygiene cenderung menghasilkan motivasi kerja yang lebih reaktif. Faktor hygiene bisa memindahkan ketidakpuasan dan meningkatkan performance, namun sampai titik tertentu, memperbaiki faktor faktor tersebut tidak lagi berpengaruh banyak.

Untuk itu usaha-usaha yang dilakukan untuk lebih meningkatkan peformance dan sikap lebih positif, sebaiknya menggunakan dan berpusat pada faktor faktor motivator. Pekerjaan seharusnya dirancang sedemikian rupa sehingga menghasilkan derajat penghargaan yang tinggi oleh kedua faktor tersebut. Faktor hygiene untuk menghindari ketidakpuasan kerja karyawan dan motivator sebagai faktor yang memastikan kepuasan kerja karyawan.


(http://www.psikologizone.com/teori-herzberg-dan-kepuasan-kerja-karyawan)